Tanpa foto-foto :D ini secuplik kisah yang terjadi minggu lalu.
Minggu lalu, Tuhan memberiku kesempatan untuk menghabiskan sisa liburan (dan sisa uang :D) bersama seorang teman baik. Setelah hari minggu yang menyebalkan, aku memutuskan untuk menikmati hari terakhirku di Jogja dengan makan dan makan. Jadilah ini sebuah Romansa-Kuliner karena kami berdua pernah melakukan hal yang nyaris sama di Bandar Lampung kira-kira setahun yang lalu: kelana keliling kota dengan sepeda motor berwisata kuliner.
Target pertama adalah Gudeg Bu Tjitro 1925... begitu nama resminya. Kalo kamu turun di Halte Gedong Kuning (JEC), kamu tinggal berjalan kaki sekitar 5 meter ke arah barat. Deket banget deh! Letaknya di pengkolan Jalan Janti yang ada pohon beringan dan banyak tukang ojek yang nongkrong. Alamat posnya Jalan Janti nomor 330.
Kesan pertama ketika melintasi rumah makan ini adalah "Mahal." Ternyata "tidak begitu mahal," paling tidak untuk standar belanja orang Bandung. Apalagi kalo ada yang traktir :D Menyandang nama "Gudeg" apalagi dengan embel-embel tahun bahuela, tentu saja aku (dan teman-teman) sepakat memilih paket menu Gudeg (meskipun dalam daftar menu tersedia juga banyak jenis makanan yang lain).
Terus terang aku lupa dan memang tidak berniat pula untuk mengingat harga dan detail menunya. Komposisi paket yang kami pesan menyertakan beberapa potong ayam, beberapa butir telur, nasi sebakul, sambal krecek, dan tentu saja gudeg. Minuman yang aku pesan wedang rempah, sepertinya cocok untuk menemani makanan gudeg. Rasanya? Istimewa! :) Seperti biasa, aku menjadi juara makan di meja kami :D dengan porsi makan yang paling besar.
Kesimpulan: sangat direkomendasikan! Harga dan rasa serta porsi menurutku memiliki nilai yang tinggi. Plus, di sini juga dijual gudeg yang dikemas dalam kaleng... lebih awet dan praktis untuk dibawa ke luar kota.
Minggu malam. Temanku ini pernah sesumbar suatu waktu... Mas, kalo mas K ke Jogja, kita harus ngopi di Blandongan! Jadilah malam itu aku menagih janji. Aku juga sering membaca di forum-forum pelancong yang merekomendasikan tempat ini, paling tidak sebagai tempat nongkrong rame-rame.
Butuh perjuangan yang cukup berat untuk menemukan tempat nongkrong yang punya slogan unik ini "Cegah Anak-anak Indonesia dari Kekurangan Kopi." Pertolongan pertama dari dunia maya berhasil membuat kami berdua nyasar cukup jauh ke ujung selatan kota Jogja. Setelah memilih opsi "phone a friend," arahan dari seseorang berhasil membawa kami ke tempat yang tepat. Ternyata tidak begitu jauh dari Gudeg Bu Tjitro (tempat kami makan siang tadi) :D Jadilah kami menyusuri Ring-Road barat dari utara ke selatan dan kembali lagi ke utara. Luar biasa!
Seperti apa sih tempatnya? Buat orang Bandung, tempatnya mirip dengan Madtari (atau Matari ya? lupa ejaannya). Emang cocok banget buat nongkrong rame-rame, kursi-mejanya banyak dan suasananya santai banget. Harga makanan lebih manusiawi dibanding Madtari :D (lagi-lagi mengukuhkan Jogja sebagai surganya makanan murah-meriah). Makan di sini kita harus mendatangi meja kasir untuk memesan minuman/makan dan/atau mengambil makanan/minuman siap saji yang diletakkan di rak-rak.
Banyak menu yang unik namanya... tetapi mataku terpaku di Kopi Dewa! Harganya cukup mahal dibanding dengan menu kopi yang lain, apakah karena rasanya yang tingkat Dewa? Kenapa diberi nama Dewa? Ternyata porsinya yang dewa alias pake gelas gede! :D Sempat terlintas ragu dalam benak, karena sudah cukup lama aku mengurangi konsumsi kopi hitam dalam volume besar. Dan dari pertama kali duduk di warung kopi ini aku tidak menyaksikan satu-pun gelas kopi yang besar. Semua kopi yang aku lihat dihidangkan dalam cangkir kecil. Apalagi sang pelayan menegaskan dengan pernyataan yang kira-kira isinya adalah "habiskan ya kopinya!" Apa-apaan ini?
Ternyata oh ternyata... segelas besar kopi hitam itu perlahan-lahan berhasil aku tumpahkan sepenuhnya ke dalam lambung. Beberapa lembar makanan kecil dan obrolan santai membuat waktu dan kopi terasa cepat berlalu. Sudah cukup larut malam, kami memutuskan untuk mencari makanan yang lebih berat di tempat lain.
Kesimpulan: kopi Blandongan mungkin cukup istimewa (aku masih harus melakukan verifikasi ulang dengan memesan jenis kopi yang lain)... tetapi tempatnya tidak terlalu istimewa. Tetapi, buat kamu yang hobi nongkrong dengan puluhan orang, tempat ini adalah jawaban atas doamu. Makanan yang disajikan biasa saja, sisi baiknya adalah harganya sangat masuk akal dan ringan di kantong.
Malam ini belum berakhir wahai sidang pembaca! Sekalian pulang ke kosan temanku... kami mampir di sebuah warung cepat-saji ala indonesia, mi instan dan bubur kacang ijo jadi menu utamanya. Membaca-baca daftar menu, sepertinya nasi dan omelet adalah menu yang cukup sehat untuk mengakhiri malam. Ternyata aku salah...
Aku lupa kalo dalam bahasa anak kos, omelet itu adalah telur yang dicampur dengan mi instan dan digoreng layaknya dadar. Padahal aku baru aja cerita ke temenku itu mengenai kesuksesanku berpuasa dan berpantang makan mi instan. Tetapi aku pantang menolak makanan. Jadilah aku habiskan omelet mi instan plus nasi (kurang banyak karbonya :D) secara perlahan tapi pasti. Entah karena malam yang larut atau karena perut yang kekenyangan atau kombinasi dari keduanya... kepalaku mulai berat. Sejenak aku terbayang aku sedang mabuk.
Kami pulang dengan perut sangat kenyang!
Kesimpulan: aku lupa namanya, tetapi tempat ini sepertinya cukup populer entah karena makanannya enak (menurutku biasa banget) atau karena jam operasionalnya yang panjang. Tengah malam lapar sebaiknya dibawa tidur aja daripada dibawa ke sini :D Sekali lagi, harga murah, porsi besar!
Waduh udah senin pagi nih kayaknya... senin siang sebelum pulang ke Bandung enaknya makan apa ya?
bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar