25 Oktober 2013

Are You Smarter than Your (Smart)Phone?

Ini bukan pertanyaan baru? :) Sila ketik di mesin pencari kalo gak percaya. Atau mungkin lebih tepatnya "sindiran" untuk menggantikan kata "pertanyaan." Pun bukan sebuah acara televisi, kalo yang itu judulnya Are You Smarter than a 5th Grader? :D

Saya tidak akan membicarakan loncatan kuantum dalam kemajuan teknologi yang disematkan pada perangkat ponsel dalam tulisan ini. Saya tidak sepintar itu. Tulisan ini hanya akan berisi curhatan hati seorang pria berumur 30an tahun yang tidak memiliki ponsel pintar.
Jadi buat kamu yang mencari tulisan berbobot, sila klik lambang "x" dalam kotak merah pada pojok kanan atas layar monitor kamu atau tekan "Alt+F4" pada papan ketikmu, atau langkah lain untuk keluar dari halaman ini sesuai perangkat yang kamu pakai untuk membaca blog ini.

Saya tidak (atau tepatnya belum) memiliki perangkat ponsel pintar. Bukan karena alasan relijius atau semacam idealisme anti-kemapanan tertentu. :D Alasannya sederhana saja, karena saya belum merasa ada kebutuhan mendesak untuk memilikinya, meskipun keinginan untuk memiliki sangat menggebu. Satu-satunya hal yang menjadi dinding pemisah antara saya dan ponsel impian saya adalah uang alias duit. Okane ga arimasen kalo nenek saya bilang mah. Jadi tulisan ini akan menjadi pembenaran bagi pilihan hidup saya untuk tidak memiliki ponsel pintar. Sebuah pernyataan peneguhan yang berlebihan.

Kembali ke pertanyaan di atas. Ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang sangat cepat untuk semakin memudahkan manusia dalam menjalani hidupnya, termasuk dalam bidang telekomunikasi khususnya ponsel. Fitur-fitur yang disematkan (baik perangkat keras maupun perangkat lunak) dalam sebuah ponsel canggih saat ini bahkan sudah lebih pintar daripada komputer-meja yang pertama kali saya miliki pada awal kuliah dahulu. Bahkan jauh lebih praktis karena komputer-meja saya dahulu tidak memiliki kemampuan menangkap gambar.

Tetapi apakah kemudahan hidup yang ditawarkan oleh ponsel nan mahal ini (curhat colongan :D) sepenuhnya merupakan dampak positif tanpa efek samping? Bisa iya, bisa tidak. Tergantung bagaimana kita memanfaatkan kepintaran ponsel yang kita miliki. Tetapi saya berani bertaruh, sebagian besar pemilik ponsel-pintar justru tidak bertambah pintar setelah memilikinya. Meskipun sebenarnya ponsel pintar dapat pula menjadi alternatif media belajar selain buku (cetak) misalnya.

Pintarnya ponsel memecahkan masalah manusia dengan cepat dan tepat membuat kita menjadi malas. Yang paling sederhana adalah saya bahkan tidak hafal nomor ponsel adik dan kakak saya sendiri, bahkan sebenarnya saya tidak hafal satupun nomor kontak yang tersimpan dalam ponsel saya (yang tidak termasuk kategori ponsel-pintar) kecuali nomor telepon rumah (itupun pernah lupa :D). Ayah saya lebih hafal nomor telepon semua anggota keluarga, karena telepon di rumah kami masih klasik, tidak memiliki fasilitas buku-telepon, jadi ayah saya selalu memencet tombol angka untuk menghubungi anak-anaknya. Kita bahkan menjadi lebih pikun daripada Ayah saya yang umurnya 70+.

Banyaknya fitur bantuan dalam perangkat ponsel juga cenderung membuat manusia menjadi semakin anti-sosial. Suatu ironi ketika perangkat telekomunikasi justru menjauhkan manusia dari manusia lainnya. Teknologi peta dijital dan segala macam fasilitasnya membuat kita menjadi semakin jarang tersesat, tetapi juga membuat orang semakin jarang berinteraksi dengan penduduk sekitar. Permainan yang kiranya disematkan untuk mengisi waktu luang malah menyita seluruh waktu kita. Layanan obrolan (apalagi yang gratisan) dengan berbagai format (khususnya tulisan) dalam ponsel memang sangat berguna karena mampu mendekatkan yang jauh. Ironisnya layanan ini justru menjauhkan yang dekat, ketika orang lebih menekuni ponsel daripada bercakap dengan orang sekitarnya. Dan masih banyak lagi efek samping lainnya.

Seperti yang pernah saya bilang, saya tidak anti kemajuan teknologi. Hanya saja kita harus bersikap lebih dewasa dalam memanfaatkan kemajuan teknologi ini demi kehidupan yang lebih baik. Teknologi yang tidak ramah-manusia mungkin suatu hari benar-benar akan menguasai manusia dalam arti yang sesungguhnya. Kita tidak bisa memperlambat kemajuan teknologi, tetapi kita bisa berusaha untuk mengubah cara hidup kita.

Seperti saat ini saya yang sedang berbaring dalam posisi yang tidak sehat secara anatomis, begadang mengacaukan jam biologis. Menghabiskan banyak pulsa di dunia maya untuk banyak hal yang sia-sia. Inkonsistensinisasi! :D

Selamat tidur dulu untuk saat ini... lain waktu akan saya lanjutkan tulisan ini. kalo inget :D 

p.s.: Karena ponsel saya hanya bisa dipake untuk menelpon (sesuai khittahnya :D) dan mengirim pesan singkat (sedikit lebih cangih daripada telepon klasik), maka saya cukup percaya diri untuk mengatakan bahwa "ponsel saya hanya sedikit lebih pintar dari saya."
p.s (lagi): Insya Allah kalo ada duit, saya akan membeli smartphone :D inkonsisten!!!

14 Oktober 2013

(lagi-lagi) Jogja bagian 2: Romansa-Kuliner

Tanpa foto-foto :D ini secuplik kisah yang terjadi minggu lalu.

Minggu lalu, Tuhan memberiku kesempatan untuk menghabiskan sisa liburan (dan sisa uang :D) bersama seorang teman baik. Setelah hari minggu yang menyebalkan, aku memutuskan untuk menikmati hari terakhirku di Jogja dengan makan dan makan. Jadilah ini sebuah Romansa-Kuliner karena kami berdua pernah melakukan hal yang nyaris sama di Bandar Lampung kira-kira setahun yang lalu: kelana keliling kota dengan sepeda motor berwisata kuliner.

Target pertama adalah Gudeg Bu Tjitro 1925... begitu nama resminya. Kalo kamu turun di Halte Gedong Kuning (JEC), kamu tinggal berjalan kaki sekitar 5 meter ke arah barat. Deket banget deh! Letaknya di pengkolan Jalan Janti yang ada pohon beringan dan banyak tukang ojek yang nongkrong. Alamat posnya Jalan Janti nomor 330.

Kesan pertama ketika melintasi rumah makan ini adalah "Mahal." Ternyata "tidak begitu mahal," paling tidak untuk standar belanja orang Bandung. Apalagi kalo ada yang traktir :D Menyandang nama "Gudeg" apalagi dengan embel-embel tahun bahuela, tentu saja aku (dan teman-teman) sepakat memilih paket menu Gudeg (meskipun dalam daftar menu tersedia juga banyak jenis makanan yang lain).

Terus terang aku lupa dan memang tidak berniat pula untuk mengingat harga dan detail menunya. Komposisi paket yang kami pesan menyertakan beberapa potong ayam, beberapa butir telur, nasi sebakul, sambal krecek, dan tentu saja gudeg. Minuman yang aku pesan wedang rempah, sepertinya cocok untuk menemani makanan gudeg. Rasanya? Istimewa! :) Seperti biasa, aku menjadi juara makan di meja kami :D dengan porsi makan yang paling besar.

Kesimpulan: sangat direkomendasikan! Harga dan rasa serta porsi menurutku memiliki nilai yang tinggi. Plus, di sini juga dijual gudeg yang dikemas dalam kaleng... lebih awet dan praktis untuk dibawa ke luar kota.

Minggu malam. Temanku ini pernah sesumbar suatu waktu... Mas, kalo mas K ke Jogja, kita harus ngopi di Blandongan! Jadilah malam itu aku menagih janji. Aku juga sering membaca di forum-forum pelancong yang merekomendasikan tempat ini, paling tidak sebagai tempat nongkrong rame-rame.

Butuh perjuangan yang cukup berat untuk menemukan tempat nongkrong yang punya slogan unik ini "Cegah Anak-anak Indonesia dari Kekurangan Kopi." Pertolongan pertama dari dunia maya berhasil membuat kami berdua nyasar cukup jauh ke ujung selatan kota Jogja. Setelah memilih opsi "phone a friend," arahan dari seseorang berhasil membawa kami ke tempat yang tepat. Ternyata tidak begitu jauh dari Gudeg Bu Tjitro (tempat kami makan siang tadi) :D Jadilah kami menyusuri Ring-Road barat dari utara ke selatan dan kembali lagi ke utara. Luar biasa!

Seperti apa sih tempatnya? Buat orang Bandung, tempatnya mirip dengan Madtari (atau Matari ya? lupa ejaannya). Emang cocok banget buat nongkrong rame-rame, kursi-mejanya banyak dan suasananya santai banget. Harga makanan lebih manusiawi dibanding Madtari :D (lagi-lagi mengukuhkan Jogja sebagai surganya makanan murah-meriah). Makan di sini kita harus mendatangi meja kasir untuk memesan minuman/makan dan/atau mengambil makanan/minuman siap saji yang diletakkan di rak-rak.

Banyak menu yang unik namanya... tetapi mataku terpaku di Kopi Dewa! Harganya cukup mahal dibanding dengan menu kopi yang lain, apakah karena rasanya yang tingkat Dewa? Kenapa diberi nama Dewa? Ternyata porsinya yang dewa alias pake gelas gede! :D Sempat terlintas ragu dalam benak, karena sudah cukup lama aku mengurangi konsumsi kopi hitam dalam volume besar. Dan dari pertama kali duduk di warung kopi ini aku tidak menyaksikan satu-pun gelas kopi yang besar. Semua kopi yang aku lihat dihidangkan dalam cangkir kecil. Apalagi sang pelayan menegaskan dengan pernyataan yang kira-kira isinya adalah "habiskan ya kopinya!" Apa-apaan ini?

Ternyata oh ternyata... segelas besar kopi hitam itu perlahan-lahan berhasil aku tumpahkan sepenuhnya ke dalam lambung. Beberapa lembar makanan kecil dan obrolan santai membuat waktu dan kopi terasa cepat berlalu. Sudah cukup larut malam, kami memutuskan untuk mencari makanan yang lebih berat di tempat lain.

Kesimpulan: kopi Blandongan mungkin cukup istimewa (aku masih harus melakukan verifikasi ulang dengan memesan jenis kopi yang lain)... tetapi tempatnya tidak terlalu istimewa. Tetapi, buat kamu yang hobi nongkrong dengan puluhan orang, tempat ini adalah jawaban atas doamu. Makanan yang disajikan biasa saja, sisi baiknya adalah harganya sangat masuk akal dan ringan di kantong.

Malam ini belum berakhir wahai sidang pembaca! Sekalian pulang ke kosan temanku... kami mampir di sebuah warung cepat-saji ala indonesia, mi instan dan bubur kacang ijo jadi menu utamanya. Membaca-baca daftar menu, sepertinya nasi dan omelet adalah menu yang cukup sehat untuk mengakhiri malam. Ternyata aku salah...

Aku lupa kalo dalam bahasa anak kos, omelet itu adalah telur yang dicampur dengan mi instan dan digoreng layaknya dadar. Padahal aku baru aja cerita ke temenku itu mengenai kesuksesanku berpuasa dan berpantang makan mi instan. Tetapi aku pantang menolak makanan. Jadilah aku habiskan omelet mi instan plus nasi (kurang banyak karbonya :D) secara perlahan tapi pasti. Entah karena malam yang larut atau karena perut yang kekenyangan atau kombinasi dari keduanya... kepalaku mulai berat. Sejenak aku terbayang aku sedang mabuk.
Kami pulang dengan perut sangat kenyang!

Kesimpulan: aku lupa namanya, tetapi tempat ini sepertinya cukup populer entah karena makanannya enak (menurutku biasa banget) atau karena jam operasionalnya yang panjang. Tengah malam lapar sebaiknya dibawa tidur aja daripada dibawa ke sini :D Sekali lagi, harga murah, porsi besar!

Waduh udah senin pagi nih kayaknya... senin siang sebelum pulang ke Bandung enaknya makan apa ya?

bersambung...

08 Oktober 2013

Selayang Semarang: 4 jam

sepeda ceria di Simpang Lima
2 meter di atas permukaan laut, lho!
Lawang Sewu
narsis berjamaah di Tugu Muda

(lagi-lagi) Jogja

subuh di Tugu
Pulang ke kotamu... begitu ungkapan dalam lirik lagu Kla Project yang sangat populer Yogyakarta (atau Jogjakarta? :D). Saya setuju sekali dengan pilihan kata "pulang" dalam lirik tersebut, karena "pulang" bermakna "kembali." Saya tidak berasal dari kota ini, pun tidak memiliki garis keturunan Jawa (kalo Sunda bukan Jawa :D). Beberapa teman saya beruntung sempat mengenyam pendidikan di kota Gudeg ini, saya tidak. Jadi... sebenarnya saya tidak memiliki alasan "asal-mula" untuk "pulang" atau "kembali" ke Jogja. Tetapi, kenapa saya selalu ingin pulang ke kotamu (Jogja)? Sepertinya lebih karena alasan sentimentil dangkal aja :D

Jogja dapat dikatakan sebagai destinasi petualangan pertama saya di luar kota Bandung. Stasiun Tugu menjadi tempat yang bersejarah buat saya. Pertama kali ke Jogja, naik kereta (kalo gak salah Lodaya Malam kelas Bisnis) dengan seorang teman... perjalanan malam yang sangat menyiksa saat itu :D maklum masih manja. Pertama kali pula saat itu saya tidur di kursi stasiun menunggu pagi. Perjalanan kedua (bersama teman yang lain) diawali dengan insiden "kursi" yang hilang (kali ini naik Lodaya Pagi kelas Eksekutif). Kali ketiga, saya memasuki Jogja dari arah Magelang, setelah mengunjungi Borobudur (pertama kali ke Borobudur :)). Seterusnya saya lupa :D sampai terakhir awal Oktober 2013 ini saya kembali :)

Saya rasa sudah cukup alasan saya untuk pulang ke kotamu :D
Alasan lainnya adalah suasana kota yang menurut saya sangat ramah pelancong. Untuk pelancong pemula seperti saya, kota ini menawarkan banyak kemudahan. Kota ini mampu mengakomodasi kebutuhan dasar saya dengan baik, transportasi, tempat-tidur, dan makan. TransJogja sangat membantu saya dalam berpindah tempat, pelbagai macam penginapan dan pilihan makanan sesuai bujet. Beberapa bagian kota juga cukup nyaman untuk dijelajah dengan jalan kaki.



mimpi jadi nyata
Ada apa dengan Tugu Jogja? Saya tidak akan berpanjang-lebar dengan cerita dan sejarahnya (sila cari di google atau yahoo). Hanya saja saya memiliki hasrat yang kuat untuk ber-narsis-ria di dekat monumen ini. Dan waktu yang paling tepat menurut saya adalah pada saat dini hari, lebih sepi, lebih pribadi. Minggu lalu mimpi saya tersebut menjadi kenyataan. Senangnya! Bus malam yang aku tumpangi bersedia menurunkan penumpang di dekat monumen ini dalam perjalanannya menuju Solo. Saat itu sekitar pukul 3 atau 4 dinihari, hati saya membuncah. Rasa kantuk berbaur dengan pusing karena bangun tidur yang mendadak akibat teriakan kondektur yang mengingatkan penumpang yang akan turun di Jogja untuk bersiap-siap. Alhamdulillah, saya berhasil berlabuh subuh di Tugu. Meskipun ternyata suasana Tugu tidak sesepi yang saya prediksi sebelumnya. Paling tidak sisi barat yang aku lewati cukup ramai dengan kehadiran semacam pasar pagi (dini hari). Pun sudah cukup banyak tukang becak dan ojek yang nongkrong di sini. Tetapi aku tidak menemukan banyak saingan untuk mengabadikan foto pribadi, berdua dengan Tugu seorang :D

nongkrong di Sarkem
Target foto berikutnya tentu saja adalah Pasar Kembang, atau yang lebih populer dengan istilah Sarkem! Tidak ada alasan khusus, seru aja kayaknya. Setelah beberapa saat menikmati suasana Tugu yang sepi, aku melanjutkan langkah kaki menuju arah Stasiun Tugu. Lapar yang mulai menyerang menemukan lawannya di sebuah warung di depan pintu masuk stasiun. Sarapan yang sangat memuaskan hati ditemani segelas kopi. Pagi yang sempurna. Sedikit beranjak melintasi rel... Jalan Pasar Kembang! Suasana pagi dengan lampu yang temaram menambah gairah untuk mengabadikan suasana :D
Ambil pose! Klik! Dan abadilah nongkrongku di Sarkem! :D

Demikianlah sekilas pengalaman menyambut mentari pagi di Jogja yang tidak terlupakan. Mudah-mudahan suatu saat bisa kembali ke tempat ini, pada waktu yang sama... tapi dengan pengalaman berbeda yang lebih seru pastinya!

Tiga hari kemudian....

angkringan KR
Sore hari sebelum menumpang Lodaya Malam (kali ini kelas Eksekutif) saya dan seorang teman menyempatkan duduk sejenak menikmati jam-jam terakhirku di Jogja. Tidak ada pilihan yang lebih tepat selain angkringan di depan Kedaulatan Rakyat. Tempat ini sangat populer di kalangan pelancong. Selain itu sangat dekat dengan Stasiun Tugu, memudahkan para pengguna jasa kereta api. Hidangan yang ditawarkan sebenarnya tidak terlalu istimewa, tetapi cukup beragam. Jangan tertipu dengan harga yang murah, karena porsi yang disajikan tidak begitu besar. Tetapi menurut saya angkringan di sekitar KR ini masih cukup manusiawi, bahkan sangat bernilai untuk melewatkan waktu sejenak di sini. Sebaiknya anda tidak datang seorang diri, meskipun tidak ada yang melarang.

Saya tidak akan berpamit diri... Sepertinya kisah di Jogja ini masih akan terus berlanjut. Entah kapan, saya percaya saya akan kembali ke sini.
Ijinkanlah aku untuk s'lalu pulang lagi
Bila hati mulai sepi tanpa terobati


ah... sudah cukup lelah dan waktunya makan siang nih :D sampai jumpa pada kisah berikutnya...

Kembali ke Dunia Nyata

angkringan depan KR

Setelah menghabiskan tiga akhir pekan berturut-turut di luar kota... seperti melalui rangkaian mimpi yang panjang dan harus diakui cukup melelahkan. Bertemu dengan teman-teman lama dan berkenalan dengan lebih banyak lagi teman-teman baru dalam perjalanan. Tidak semua berjalan sesuai rencana, meskipun banyak juga kejutan indah.

Saatnya kembali hidup di dunia nyata...

02 Oktober 2013

Sendirian, Tidak Kesepian: Jalan-jalan Solo


Sebagai individu... saya memiliki hasrat yang sangat kuat untuk sendirian. Bukan! Kesendirian tidak sama dengan Kesepian. Kesepian pun tidak selalu identik dengan Kesendirian. Menurut saya lho. Pernah merasa Kesepian di Keramaian kan? :) Tetapi saya tidak (merasa) anti-sosial, apalagi sociophat :D Saya memiliki cukup banyak teman dan cukup nyaman juga untuk menjalin pertemanan baru setiap saat.

Konsekuensi logis dari pilihan ini adalah sendirian. Tautologi :D Saya sering gondok ketika bekerja dalam kelompok. Birokrasi juga membuat saya risih. Jalan-jalan juga lebih nyaman sendiri (solo traveling). Bebas menentukan apa, kemana, bagaimana, berapa lama.

Jalan-jalan sendiri tidak harus sendirian lho. Tidak konsisten ya? :D Maksudku, sebagai binatang sosial, kita dapat saja berinteraksi dengan orang-orang sekitar kita dalam perjalanan. Tetapi, kita juga punya kebebasan untuk memilih menikmati suasana sendiri di destinasi. Jadi lebih menyenangkan kan? :) Saya sering berkenalan dengan teman-teman baru selama perjalanan bahkan jalan bareng (meskipun hanya untuk waktu yang singkat, bagaimanapun juga saya kan solo traveler).

Meskipun penggemar jalan-jalan solo, saya tidak anti jalan-jalan kelompok :) apalagi kalo jalan-jalannya gratisan. :D Saya tidak munafik, faktor finansial bisa jadi perihal yang sangat signifikan dalam sebuah perjalanan. Lebih dari satu kali saya "terpaksa" ikut jalan-jalan dalam kelompok (lebih dari satu orang) demi alasan ekonomis dan kepraktisan. Jadi, jalan gratis, atau malah tinggal dan makan gratis? Mau banget! :D

Tetap... prioritas pribadi saya adalah jalan-jalan solo. Mudah-mudahan Tuhan selalu memberikan saya nikmat kesehatan untuk mengunjungi lebih banyak tempat, menjelajah lebih jauh di sisa usia yang tidak panjang ini. Amin! (Saya sadar Dia mungkin tidak membaca blog ini, tapi mungkin banget ada pembaca yang menyelipkan doa ini).

Selamat Hari Batik! :D Selamat jalan-jalan!...