01 Februari 2013

Bersama KA Pasundan (Kiaracondong - Gubeng)

Sebaiknya aku memulai kisah perjalananku dari sini... Stasiun Kiaracondong (KAC) dengan Kereta Api Pasundan (KAP). Ini adalah pengalaman pertamaku menumpang kereta api kelas ekonomi.

mengejar matahari
Kereta yang aku tumpangi berangkat tepat waktu, beberapa menit lewat dari jam enam pagi. Tetapi, tiba sekitar tengah malam di Stasiun Gubeng (SGU)... ingkar janji dari jadwal tiba resmi yang tercantum di tiket, 23:10. Sudah biasa.

Saat ini kita dapat memesan tiket kereta api semua kelas (ekonomi, bisnis, dan eksekutif) mulai dari 90 hari sebelum keberangkatan. Kita dapat memesan secara daring atau melalui saluran eksternal yang sudah ditentukan oleh PT KAI atau memesan secara konvensional di stasiun. Setelah melakukan pembayaran (secara daring atau melalui saluran eksternal) kita dapat menukarkan kode-pesanan pada stasiun yang ditunjuk paling lambat satu jam sebelum keberangkatan.

Untuk kita yang di Bandung, penukaran tiket kelas ekonomi dapat dilakukan di Stasiun Kiaracondong. Sementara kelas bisnis dan eksekutif dapat ditukar di Stasiun Bandung. Perhatikan jam pelayanan loket penukaran tiket, aku mendapatkan pengalaman buruk saat akan menukarkan tiket di KAC. Jika ingin menukar tiket beberapa hari sebelum keberangkatan, lakukanlah di pagi atau siang hari. Aku yang datang sekitar jam 1 siang sudah tidak dilayani lagi. Sementara untuk pagi hari, loket penukaran tiket yang seharusnya buka sebelum jam 5 (karena kereta pertama berangkat jam 6 pagi) baru melayani penukaran tiket sekitar jam 05:15.

jendela yang terluka
Khusus untuk tiket kelas ekonomi, pastikan jadwal keberangkatan anda karena tiket tidak dapat dibatalkan atau dirubah. Harga tiket KAP saat tulisan ini dibuat adalah Rp. 38.000,00 (plus bea pesan, Rp. 6.000,00 untuk pemesanan di Alfamart), tarif parsial tidak lagi berlaku. Artinya, entah anda hanya menumpang sampai Rancaekek atau Gubeng harga yang harus dibayar adalah sama.

Salah satu kebijakan baru PT KAI dalam upayanya untuk lebih "memanusiakan" pelayanan adalah "Semua penumpang harus duduk!" Ini berarti para calon penumpang kelas ekonomi tidak harus berebut tempat duduk dan dapat lebih nyaman menempuh perjalanan. Jadi, kisah-kisah masa lalu tentang betapa sesaknya kereta ekonomi sudah tidak terjadi lagi. Meskipun tentu saja secara teoretis kereta ekonomi tetap "lebih sesak" daripada kelas bisnis, apalagi eksekutif. Satu gerbong kelas ekonomi menampung 106 penumpang (dengan konfigurasi tempat duduk 3-2) sementara  gerbong kelas ekonomi "hanya" mengangkut maksimal 64 penumpang (tempat duduk 2-2).

Kebijakan yang kurang konsisten dilaksanakan adalah larangan bagi pedagang asongan untuk menaiki gerbong kereta. Untuk layanan kereta api Daerah Operasi 2 Bandung (DAOP 2 BDG), aku mengamati bahwa aturan ini cukup ditaati. Sementara keluar dari wilayah Jawa Barat aku mendapati kebijakan tersebut hanya pepesan kosong. Setelah Stasiun Banjar (stasiun paling ujung timur dari DAOP 2 BDG)  misalnya, bukan cuma pedagang asongan yang berkeliaran bebas di gerbong tetapi juga beberapa preman bertato. Meskipun menurutku belum sampai pada tahap gangguan-keamanan-serius, tetap saja hal tersebut mengganggu kenyamanan penumpang. Terlihat belum meratanya peningkatan pelayanan pada semua Daerah Operasi PT KAI.

Prioritas melaju di atas rel diatur menurut kasta kelas sebagai berikut: pertama kelas eksekutif, kedua kelas bisnis dan yang terendah adalah kelas ekonomi. Di Stasiun Maos (Cilacap) misalnya aku mengalami "diskriminasi" ini. KA Pasundan (kelas ekonomi) berhenti di Maos sekitar jam 12 siang, tidak lama kemudian aku melihat KA Lodaya (kelas bisnis dan ekonomi) juga berhenti di rel seberang kami... tidak lama kemudian KA Argo Willis (kelas eksekutif) melaju di rel yang memisahkan Pasundan dan Lodaya. Giliran melaju sesuai harga tiket. Hahaha.

makan siang
Teriakan-teriakan unik para pedagang asongan dan "penampakan" konstan makanan yang dijajakan membuat rasa lapar tak tertahankan lagi. Jam menunjukkan beberapa menit lepas tengah hari. Aku memilih untuk makan siang di gerbong restorasi (restorka) karena kurang nyaman rasanya makan siang sambil berhimpit-himpitan (aku menempati kursi yang menampung 3 pantat orang dewasa... dan alhamdulillah aku kebagian jatah duduk di tengah, kebayang kan repotnya). Menu yang ditawarkan sebenarnya cukup variatif, tetapi karena aku tidak makan mi instan, aku memilih paket nasi rames dan teh manis panas. Nasi (yang ternyata bukan) rames dengan lauk sekerat daging dan telur goreng, ditambah sepercik sayur dan kuah (entah apa) serta kerupuk ditukar dengan uang Rp. 12.000,00 saja... harga yang cukup masuk akal menurutku. (info tambahan: menu yang sama ini harganya beda lho jika disajikan di atas kelas bisnis atau eksekutif). Foto di atas aku ambil saat kereta berhenti sejenak di Stasiun Kroya (Kroya, Cilacap, Jawa Tengah). Untuk urusan isi perut sebenarnya ada lebih banyak pilihan yang ditawarkan (baik di atas maupun di luar gerbong) jika kita menumpang kereta ekonomi, tergantung selera dan tentu saja isi kantong.

bersanding
Salah satu alasan lain kenapa kereta ekonomi "berjalan" lebih lambat daripada kelas lain di atasnya adalah karena kereta ekonomi berhenti di hampir semua stasiun yang dilewati (selain perhentian lain, misalnya ketika berselisih jalan dengan kelas yang lebih tinggi). Secara teoretis ada lebih dari 20 stasiun yang akan kita singgahi jika kita menumpang Pasundan dari KAC ke SGU. Pada setiap stasiun kurang lebih kereta akan berdiam selama sekitar 5 menit atau lebih lama. Petunjuk bahwa kereta akan berhenti cukup lama (seandainya kita ingin turun sejenak dari gerbong yang padat) adalah kru kereta. Perhatikan, jika banyak kru kereta yang turun atau keluar dari gerbong dan duduk-duduk santai di warung-warung (biasanya sambil merokok) itu artinya kereta akan berhenti cukup lama, cukup aman seandainya kita mau berkeliaran sejenak di luar gerbong.

Setelah makan siang kantukpun mulai melanda dan aku tidur-bangun tak terhingga kali sampai akhirnya Pasundan singgah di Stasiun Lempuyangan (Yogyakarta) pada sekitar jam 3 sore dan sejam kemudian berhenti cukup lama sekitar 15 menit di Solo Jebres (Solo). Sepertinya lain kali kembali ke Yogyakarta atau Solo aku kan menumpang Pasundan saja. Perhentian yang cukup lama berikutnya adalah di Stasiun Madiun (pusat DAOP 7) pada sekitar jam 7-an malam, buat pencinta kuliner dapat menjajal nasi pecel di sini, santai saja karena kereta berhenti cukup lama.

Karena langit sudah menggelap, agak sulit untuk menikmati pemandangan di luar kereta. Aku sendiri memilih menghabiskan waktu untuk tidur-tidur singkat yang diselingi cakap-cakap singkat dengan penumpang lain. Kombinasi unik antara tidur dan ngobrol. Volume penumpang mulai berkurang secara perlahan, setelah Madiun sepertinya tidak ada lagi penambahan penumpang dalam perjalanan. Sebagian ada yang turun (secara berurutan) di Nganjuk, Kertosono, Jombang, dan seterusnya sampai Wonokromo (Surabaya). Setelah Wonokromo aku sudah benar-benar terjaga dan siap-siap turun di Gubeng (SGU).

Pasundan mencapai titik SGU sekitar tengah malam, sedikit lebih telat dari jadwal tiba yang seharusnya 23:10 WIB. Sudah tidak sabar rasanya menunggu hari terang dan segera memulai petualangan di Surabaya. Sebelum berangkat aku memiliki dua opsi untuk menunggu pagi, pertama menginap di kamar kos seorang teman atau tidur di kursi stasiun. Karena rasanya pilihan terakhir lebih seru, jadilah aku memutuskan untuk mencari deretan kursi yang masih lowong di ruang tunggu luar SGU. Pilihan terakhir ini sebenarnya cukup beresiko, meskipun semua stasiun dilengkapi dengan penjaga malam tetap saja kita harus berhati-hati. Menjelang subuh suhu udara menurun cukup rendah, ternyata pagi hari di Surabaya dingin juga ya? Atau memang pada dasarnya aku saja yang tidak tahan udara dingin. Hahaha.

Karena Surabaya terletak di ujung timur dari zona waktu WIB, maka matahari sudah cukup terang ketika jam masih menunjukkan angka 5. Aku terbangun dan melihat suasana stasiun sudah cukup ramai, mungkin calon penumpang yang akan menumpang kereta pagi. Wah.. aku harus segera menyiapkan diri untuk mulai berkeliaran... dengan teman baru. Teman baru?

Setelah ini pertualangan masih berlanjut lho. Hari pertama lansung tancap gas jalan kaki keliling kota... ada Monkasel, Montupa, dan...

Ngomong-ngomong... secara umum aku sangat menikmati pengalaman baru menumpang kereta ekonomi jarak jauh. Tidak kapok dan berjanji pada lain kesempatan akan kembali menggunakan jasa kereta ekonomi, tentu saja dengan persiapan yang lebih baik, khususnya soal makanan. Hahaha. Dan karena ini adalah perjalanan jauh, mungkin akan lebih menyenangkan bila dijalani bersama teman. Tidak berarti kita akan kesepian seandainya berjalan sendiri (karena di atas kereta pasti kita akan membuat pertemanan atau paling tidak percakapan baru dengan penumpang lain) tetapi bercakap-cakap dengan teman yang lebih dekat tentu lebih nyaman. Bersama teman kita juga dapat saling menjaga, seandainya kita membawa barang berharga dalam perjalanan.

Tips singkat dariku adalah memakai kaos dan celana yang nyaman, berpenampilan sederhana sepertinya akan lebih aman dari ancaman kejahatan. Siapkan tiket dan uang secukupnya di kantung yang gampang diraih, supaya kita tidak perlu sering-sering mengeluarkan dompet. Barang paling mahal yang aku bawa hanya sebuah kamera dijital dan ponsel, nilainya tidak lebih dari satu juta rupiah. Pelancong kere sepertiku juga tidak membawa uang banyak, bahkan total pengeluranku selama sekitar 5 hari di Surabaya kurang dari 500 ribu rupiah lho (termasuk tiket pulang-pergi, makan-minum dan lain-lain, pokoknya semuanya!)

bersambung....

2 komentar:

netnot mengatakan...

haha..nasi rames di kelas bisnis harganya 23ribu.. dan kayanya cuma kelas eksekutif yang bebas-pedagang, di kelas bisnis pedagang juga masih berkeliaran, di jabar, mereka ngga masuk gerbong, menjajakan dagangannya di pintu aja, nunggu penumpang yang nyamperin, makin ke timur..pedagangnya lebih berani, dan rasanya meskipun ada polsus, polisinya juga ngga tega ngusir langsung, dilema sih, kan mereka cari penghasilan, paling diliatin aja dari jauh, sampe pedagangnya sadar dan cepet2 turun.. kemaren sempet ada pedagang yang buru2 turun sebelum dibayar dan uangnya diminta dilempar keluar.. tampak kurang manusiawi juga sih..

kei mengatakan...

karena DAOP 2 BDG dapat menerapkan aturan dengan cukup tegas... seharusnya DAOP yang lain juga bisa. masalahnya bukan tega atau gak tega tapi menyangkut keamanan dan kenyamanan penumpang. mungkin harus dipikirkan solusi yang bisa mengakomodasi keinginan pedagang asongan tanpa mengorbankan hak penumpang :)
pedagang asongan masih mending... yang paling parah adalah para pria bertato yang jelas-jelas tidak menjual apa-apa kecuali "rasa takut." jadi untuk saat ini, menurutku mending gerbong steril dari non-penumpang dan non-kru-KA.